jpnn.com - Saya meraih buku yang paling lusuh di atas meja di masjid itu. Saya ingin tahu: buku apa yang paling banyak dibaca di situ. Dalam pengertian saya, buku terbaik adalah buku yang lusuh. Apalagi yang sudah banyak coretannya.
Terlalu awal saya tiba di masjid itu: di distrik Tongzhou, pinggiran timur kota Beijing. Untuk membayangkan seberapa pinggir daerah itu ada ukurannya: ia berada di jalan lingkar nomor berapa.
Waktu pertama ke Beijing, tahun 1986, belum ada jalan lingkar. Mobil masih amat jarang. Belum tentu lima menit sekali ada yang lewat. Jalan-jalan penuh dengan sepeda atau gerobak barang.
Ketika mobil kian banyak perlu tata kota yang modern. Dibangunlah jalan lingkar –Anda menyebutnya ring road– untuk mencegah kemacetan. Beijing pun kian luas. Dibangun jalan lingkar kedua. Kian luas lagi. Dibangun lingkar ketiga.
Beijing kini sudah punya jalan lingkar No 7. Kalau peta jalan itu disederhanakan sudah seperti sarang laba-laba yang besar.
Meski punya jalan lingkar No 7 bukan berarti ada tujuh jalan lingkar. Beijing hanya punya enam jalan lingkar. Itu karena tidak ada jalan lingkar No 1. Jalan lingkar paling dalam di Beijing adalah jalan segi empat di lapangan Tian An Men –pusatnya pusat kota Beijing.
Masjid itu tadi berada di jalan lingkar No 6 –di bagian timur. Boleh dikata itu masjid di perumahan baru. Di wilayah pengembangan baru. Serba baru. Taman-taman luas. Perumahan kampungnya pun serba berlantai 20 ke atas. Sekolahnya baru. Rumah sakitnya baru. Masjidnya baru.
Anda sudah tahu: salat Jumat di Beijing dimulai pukul 14.00. Tapi baru pukul 12.00 saya sudah merasa lapar. Masjidnya sekitar delapan kilometer dari hotel tempat saya menginap seminggu terakhir. Lebih baik mencari restoran di dekat masjid. Logika saya sudah otomatis: di dekat masjid pasti ada resto halal.