jpnn.com, JAKARTA - Tragedi berdarah pada 1965 selalu menarik diulas. Peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia itu tidak hanya menyisakan misteri, tetapi juga kontroversi.
Pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto selalu menyebut tragedi itu dengan sebutan resmi G-30-S/PKI. Namun, saat peristiwa itu meletus, istilah G-30-S/PKI belum ada.
“Para pemrakarsa dan pendukung aksi tersebut menamakan gerakan mereka Gerakan 30 September, tetapi kemudian disebut Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) yang lebih populer dengan sebutan Gerakan Tiga Puluh September,” demikian didedahkan Hermawan Sulistyo dalam buku ‘Palu Arit di LadangTebu’ yang merupakan hasil riset untuk disertasinya.
Prof Kikiek -panggilan akrab Hermawan- juga memerinci tulisannya itu dengan menyertakan catatan kaki atau footnote.
Dalam informasi tambahan tersebut dia memaparkan gerakan itu disebut pertama kali pada pertemuan kelompok yang merancang aksi pada 29 September 1965.
Merujuk pada dokumen perkara Supono Marsudidjojo di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), Hermawan menjelaskan sebutan Gerakan 30 September juga tertuang dalam Dekrit No. 1 Tentang Pembentukan Dewan Revolusi.
Dekrit itu ditandatangani Letkol Untung (Oentoeng) selaku komandan gerakan dan empat wakilnya dari keempat angkatan, yaitu Brigjen Soepardjo, Kolonel Laut Sunardi, Letkol Udara Heru Atmodjo, dan Letkol (Pol) Anwas.
Hermawan juga menjelaskan soal Gestapu. Peraih gelar doktor dari Arizona State University itu merujuk pada catatan John Hughes, wartawan pertama dari Amerika Serikat (AS) yang meliput gerakan itu.