jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia mempertegas komitmen iklim melalui implementasi skema Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).
Mekanisme result-based payment (RBP) atau pembiayaan berbasis kinerja digunakan untuk memperkuat perlindungan hutan, mendukung ekonomi hijau, pembangunan inklusif, serta percepatan pencapaian target FOLU Net Sink 2030 dan Net Zero Emission 2060.
Melalui skema REDD+, Indonesia menjadi negara pertama di Asia Pasifik yang menerima pendanaan RBP dari Green Climate Fund (GCF) terbesar, yaitu US$103,8 juta untuk program pengurangan emisi gas rumah kaca dan rehabilitasi hutan dan lahan.
Pada skema ini, UNDP turut terlibat sebagai Accredited Entity dari GCF dan selanjutnya dana RBP REDD+ di tingkat nasional dikelola Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Pendanaan ini menegaskan kepercayaan global pada tata kelola iklim Indonesia berkelanjutan.
Dari perspektif lingkungan, Wakil Menteri Lingkungan Hidup/Wakil Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono menekankan pentingnya pendekatan transparan, inklusif, dan berbasis bukti dalam pelaksanaan REDD+.
Implementasi REDD+ bukan hanya upaya menurunkan emisi, tetapi juga membangun sistem lingkungan tangguh, berkeadilan dan terukur.
"Keberhasilan Indonesia tidak lepas dari sistem measurement, reporting, verification (MRV), safeguards sosial dan lingkungan, hingga Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) agar dapat memantau progres konservasi hutan dan implementasi kebijakan iklim,” ungkap Diaz, di Jakarta, Rabu (26/11).






































