jpnn.com, JAKARTA - Revisi keempat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN memasuki babak krusial dengan hadirnya gagasan pembentukan Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN).
Transformasi nomenklatur ini dipandang sebagai langkah monumental untuk memperkuat peran negara dalam mengarahkan dan mengawasi BUMN secara lebih efektif.
Perubahan tersebut bukan sekadar administratif, melainkan rekonstruksi kelembagaan yang menegaskan bahwa pengelolaan BUMN membutuhkan otoritas pengatur yang kokoh, modern, dan responsif terhadap dinamika ekonomi global.
Anggota Komisi VI DPR RI Gde Sumarjaya Linggih menilai penguatan kelembagaan ini sebagai jawaban atas berbagai tantangan yang selama ini dihadapi BUMN, mulai dari tumpang tindih fungsi hingga lemahnya koordinasi antar-entitas.
“Pembentukan BP BUMN adalah momentum penting untuk menata ulang arsitektur kelembagaan BUMN. Negara tidak hanya hadir sebagai pemilik saham, tetapi juga sebagai pengatur yang memastikan setiap BUMN dikelola sesuai prinsip good corporate governance, profesionalisme, dan keberlanjutan,” tegas Sumarjaya Linggih dalam keterangannya, Jumat (26/9/2025).
Revisi UU ini juga memberikan kewenangan tambahan bagi BP BUMN, meliputi penyusunan kebijakan strategis lintas sektor, penguatan koordinasi korporasi, hingga penataan ulang hubungan antar-holding dan anak usaha.
Dengan otoritas yang lebih luas, BP BUMN diharapkan mampu mengonsolidasikan kekuatan BUMN agar lebih terarah dalam mendukung agenda pembangunan nasional, termasuk hilirisasi sumber daya alam, transisi energi serta penguatan kemandirian pangan dan kesehatan.
Menurut Demer sapaan akrab Gde Sumarjaya Linggih, langkah tersebut selaras dengan kebutuhan membangun BUMN yang tidak hanya mengejar profitabilitas, tetapi juga menunaikan mandat konstitusional sebagai agen pembangunan.