jpnn.com, JAKARTA - Kasus dugaan manipulasi laporan keuangan dan korupsi PT Kimia Farma Apotek (KFA) senilai total Rp 1,86 triliun kini menjadi sorotan publik.
Pakar hukum korporasi menegaskan bahwa langkah penyidik kejaksaan harus difokuskan pada penelusuran angka-angka yang tidak wajar dan dokumen pendukung yang menyertainya.
“Setiap laporan keuangan memiliki pos kegiatan, dokumen pendukung, serta realisasi investasi. Jika angka yang tercatat tidak sesuai dengan kondisi nyata, maka hal itu menunjukkan adanya potensi laporan fiktif,” kata Pakar Hukum Korporasi Rio Christiawan.
Lebih lanjut, Rio menekankan pentingnya pemeriksaan terhadap pihak yang menandatangani red letter atau surat pernyataan kebenaran data dalam laporan keuangan.
“Penanggung jawab utama adalah mereka yang menandatangani dokumen tersebut, atau pihak yang menyerahkan data kepada Kantor Akuntan Publik untuk disusun menjadi laporan audited,” tambahnya.
Ia juga mengingatkan bahwa dalam kasus ini harus dibedakan antara kerugian akibat risiko usaha yang sah (business judgment rule) dengan kerugian akibat kesengajaan manipulasi.
“Kalau kerugian terjadi karena risiko usaha, bukan tindak pidana. Namun, jika ada kesengajaan dalam manipulasi data hingga menimbulkan kerugian, maka itu masuk ranah tindak pidana korupsi,” tegasnya.
Seperti diketahui, Kejaksaan Agung saat ini tengah mengusut kasus korupsi penggunaan dana investasi yang dikucurkan oleh investor senilai Rp 1,86 triliun kepada PT Kimia Farma Apotek (KFA).