Berlatih Menjadi Pemimpin

6 hours ago 6

Bendahara Umum Partai Demokrat Irwan Fecho. Foto: DPP Demokrat

jpnn.com - Manusia adalah ‘khalifatul fil ardh’, sering diartikan sebagai ‘pemimpin di dunia’. Secara harfiah, arti kata ‘khalifah’ bermakna luas, bisa berarti pewaris, penerus, penanggung jawab dan pengelola.

Oleh karena itu, manusia menanggung beban besar untuk mengelola dan meneruskan warisan bumi dan seluruh sumber daya beserta makhluk-makhluk lain yang menopang hidupnya, dan memanfaatkan kekayaan alamnya untuk kesejahteraan dan kemajuan peradaban manusia, sebagai bentuk ketaan kepada Sang Khalik.

Salah satu permasalahan global yang dihadapi manusia adalah perubahan iklim. Sangat anthropocentric memang. Ditambah lagi sifat manusia yang sangat egois. Bahkan, tujuan pencegahan dan penanggulanan perubahan iklim, perlindungan alam, pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya pun, dari sekian banyak alasan, adalah untuk menjaga bumi agar tetap bisa dihuni oleh manusia, agar manusia tetap bisa berkembang biak dan bertumbuh. Ya! Tetap untuk kepentingan manusia, pada akhirnya!

Namun demikian, pandangan filosofis dan pendapat para pemikir, serta petuah orang-orang sholeh mengarahkan akal budi manusia untuk mencerna dan merenungkan fungsi dan perannya di muka bumi ini. Yaitu, kehadiran manusia lebih sekadar makhluk yang ingin berkembang biak. Bahwa hidup manusia adalah untuk menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, orang terdekat, masyarakat dan bangsa, juga bagi kebaikan umat manusia di alam raya, untuk menjadi khalifah – wakil Tuhan –di muka bumi ini. Dengan demikian, maka tugas manusia sebagai pemimpin adalah berat, sangat berat.

Beberapa waktu lalu, saya pernah membaca buku berjudul “Krakatau, ketika dunia meledak 27 Agustus 1883” oleh Simon Winchester. Kala itu dunia dihebohkan dengan suara dentuman raksasa, hujan abu menutupi sebagian besar permukaan bumi yang di wilayah tropis membuat cuaca lebih sejuk namun di belahan bumi utara menjadi penyebab anomali iklim- musim dingin lebih lama yang merusak tanaman pertanian sehingga praktis membuat lahan tidak produktif, membuat Eropa terancam bencana kelaparan.

Pewartaan adanya dentuman besar, hujan batu apung, dan kilatan api seperti helaian-helaian gandum merujuk pada fenomena erupsi anak gunung Krakatau. Dahsyatnya suasana letusan gunung Krakatau digambarkan oleh teks-teks singkat telegraf yang dasarnya adalah laporan Residen Lampung dan Residen Banten, di masa pemerintahan kolonial Belanda.

Yang hendak saya garis bawahi dari cuplikan kisah dalam buku tersebut adalah kemampuan para petugas dan pejabat pemerintahan kolonial dalam menguasai ilmu alam, ilmu ukur, ilmu pemerintahan, ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu ekonomi hingga ilmu pertanian dan pengelolaan tanah, bahkan ilmu berkomunikasi secara tertulis.

Pada era tersebut, Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan‘bar’ (standar) yang tinggi bagi para pejabatnya. Seorang pejabat yang menduduki posisi sebagai Residen haruslah orang dengan segudang pengalaman dan latar belakang pendidikan yang mumpuni. Tujuannya tidak semata-mata agar pemerintahan Hindia Belanda lebih kokoh, namun juga memastikan bahwa program kolonialisme berjalan untuk kemajuan ekonomi negeri Belanda kala itu.

Bung Hatta menggambarkan bahwa pemimpin haruslah siap menderita. Pemimpin siap menderita dalam artian mau dan ikhlas berkorban dalam pengabdian.

Read Entire Article
| | | |