jpnn.com - JAKARTA - Forum Culture, Heritage, Art, Narrative, Diplomacy, and Innovation (CHANDI) 2025 di Bali menghadirkan sesi pleno bertajuk “Culture for the Future: Heritage, Identity, and Innovation” pada hari ketiga perhelatan. Sesi pleno ini menjadi ruang penting merumuskan bagaimana warisan budaya dapat dikelola, dikembangkan, dan dihidupkan kembali sebagai bagian dari identitas serta motor penggerak inovasi di masa mendatang. Pleno dibuka dengan pidato kunci (keynote speech) dari Ketua Dewan Penyantun Museum dan Cagar Budaya Hashim S. Djojohadikusumo.
Sesi pleno ini dihadiri oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon, Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha, para menteri dan wamen negara sahabat; para duta besar negara sahabat, perwakilan organisasi internasional, ketua delegasi, dan tamu undangan lainnya. Diskusi pleno ini menegaskan kembali bahwa warisan budaya bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan sumber inspirasi yang dapat memperkuat identitas sekaligus mendorong lahirnya inovasi. Melalui dialog lintas bangsa, lintas disiplin, dan lintas generasi, CHANDI 2025 menjadi ruang strategis untuk merajut pemahaman, kerja sama, dan solidaritas global dalam menjaga kebudayaan.
Hashim dalam pidatonya menyampaikan keprihatinannya terhadap tantangan besar yang dihadapi budaya Indonesia di tengah derasnya arus globalisasi, teknologi, dan media digital. Selama lebih dari satu dekade, Hashim mengaku terus memikirkan keterkaitan erat antara budaya, identitas, dan masa depan bangsa. “Indonesia adalah persimpangan peradaban dunia sejak ribuan tahun lalu. Namun, yang diperlukan adalah keseimbangan sehat agar budaya asli kita tetap hidup dan dicintai,” kata Hashim dikutip dari keterangan pers dikutip, Jumat (5/9).
Hashim mendorong pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan berinvestasi secara serius dalam penguatan budaya nasional. Dia mengusulkan supaya lembaga terkait, termasuk Danantara, mengalokasikan anggaran khusus untuk mendukung seniman dan kreator lokal, mulai dari animator, kartunis, dan kreator konten. “Dukungan ini penting agar karya-karya kreatif Indonesia mampu bersaing dengan industri budaya global, sekaligus menumbuhkan kecintaan generasi muda terhadap warisan bangsanya sendiri,” ungkapnya dalam pleno yang dimoderatori Dr. Luh Gede Saraswati Putri yang juga Dosen Fakultas Filsafat Universitas Indonesia, itu.
Setelah penyampaikan pidato kunci, pleno menghadirkan empat panelis, yakni Professor Contemporary History and Dean of Leiden-Delft-Erasmus Universities, Prof. Dr. Wim van den Doel; Associate Professor of School of Arts of Nanfang College Guangzhou, He Lu; Director of Ubud Writers & Readers Festival, Janet DeNeefe; dan Conservator of the Southeast Asian collections at Musée Guimet, Prancis, Evelise Bruneau.
Wim dalam paparan berjudul “Rewriting the Past to Imagine the Future”, mengatakan Indonesia memiliki warisan budaya yang kaya di mata dunia. Dia mengambil contoh bagaimana proses kembalinya patung Singosari ke Indonesia pada 2023 lalu setelah disimpan di Leiden selama masa kolonial sepanjang hampir 200 tahun sejak 1978. Kembalinya Patung Singosari itu menjadi gambaran bahwa warisan budaya bisa menjadi tempat lintas antarnegara serta antarbudaya.
Lebih lanjut Wim mengatakan Indonesia menjadi superpower dalam hal keragaman budaya dengan banyaknya etnis hingga sejumlah tradisi. “Indonesia sebagai negara adidaya yang kaya akan budaya ini memiliki banyak etnis serta tradisinya masing-masing dalam perlintasan budaya sehingga Indonesia menjadi tempat khusus di mata dunia,” jelas Wim.
Sementara itu, He Lu dalam materinya menekankan pentingnya angklung sebagai warisan yang mampu menjadi jembatan persahabatan antarbangsa. Menurut dia, angklung bukan hanya sekadar instrumen tradisional Jawa Barat, tetapi juga sebuah tradisi musik yang kaya, berkembang di Asia Tenggara, serta mengandung sejarah, kebijaksanaan lokal, dan nilai-nilai universal. Berkat upaya pemerintah dan akademisi Indonesia, angklung kini telah mendunia. “Sebagai warisan budaya dan instrumen yang mudah dipelajari, angklung memiliki potensi besar untuk membuat seluruh dunia menjadi saling terhubung,” jelas He Lu.