jpnn.com - Pada hakikatnya, wilayah kedaulatan negara meliputi ruang udara di atas wilayah negara yang bersangkutan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Indonesia yang menyatakan “every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory”.
Menariknya, jauh sebelum pemberlakuan Konvensi Chicago, dalam tradisi hukum Romawi sudah dikenal adagium klasik “cuius est solum eius est usque ad coelum et ad sidera”.
Ungkapan tersebut dapat dimaknai “siapapun yang memiliki tanah maka memiliki hak di atasnya sampai ke langit dan bintang-bintang".
Sejalan dengan itu, Indonesia menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Ruang udara di atas negara kepulauan memiliki karakteristik yang khusus karena pengaturannya tidak saja melandaskan pada Konvensi Chicago 1944, namun juga mempertimbangkan beberapa sumber hukum internasional lainnya seperti Outer Space Treaty 1967 dan United Nations Convention on Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982).
Masalahnya, konsep ruang udara di atas negara kepulauan belum diimplementasikan dalam praktik sehingga berpotensi merugikan kepentingan nasional mengingat terdapat beberapa objek vital yang terletak di luar wilayah kedaulatan yang memerlukan pengamanan dari ancaman yang datang melalui ruang udara.
Oleh karena itu, diperlukan suatu undang-undang untuk mengatur lingkup ruang udara di atas negara kepulauan, termasuk batas-batasnya yaitu wilayah udara, ruang udara internasional di atas objek vital nasional, dan ruang udara negara lain.
Sekilas Pengaturan tentang Pengelolaan Ruang Udara






































