jogja.jpnn.com, YOGYAKARTA - Peristiwa ledakan bom di Masjid SMA Negeri 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara pada Jumat (7/11) yang melukai sejumlah siswa memicu keheranan dan kekhawatiran publik, terutama setelah diketahui pelaku dugaan adalah salah seorang siswa di bawah umur.
Kasus ini makin mencuri perhatian lantaran muncul dugaan bahwa pelaku adalah korban perundungan (bullying) yang tidak memiliki ruang aman untuk menyampaikan permasalahannya.
Menanggapi fenomena ekstrem yang melibatkan anak di lingkungan pendidikan ini, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM, AB Widyanta mengatakan bahwa kasus ini dapat dipandang dari dua perspektif utama, yaitu sosiologis dan psikososial.
Widyanta menekankan bahwa tekanan psikologis yang dialami anak, seperti yang diduga dialami oleh pelaku, bukanlah masalah yang timbul dari ruang hampa. Ia melihatnya sebagai akumulasi dari persoalan sosial yang menumpuk dan terinternalisasi dalam diri individu.
Menurut Widyanta, dampak dari perundungan berimplikasi pada perasaan-perasaan individual dan personal yang sangat mendalam.
Represi psikis akibat tidak terbukanya ruang aman untuk mengatasi bullying dapat menimbulkan perasaan dikeluarkan dari komunitas, tidak dihargai, dan dikucilkan.
“Sehingga yang dihidupi oleh dia itu rasa sakit hati, rasa ada amarah yang mendalam. Akan tetapi, juga ada rasa keinginan untuk balas dendam. Implikasi yang bisa dilihat kan muncul agresivitas karena terstimulasi peristiwa bullying yang dialami sang anak,” ucap Widyanta di Fisipol UGM, Jumat (14/11).
Widyanta menilai tindakan ekstrem yang dilakukan oleh anak ini sebagai kasus pertama di Indonesia dengan karakteristik murni sebagai reaksi personal terhadap kekerasan lingkungan dan ia tidak melihat adanya kaitan dengan kelompok radikal atau ideologi tertentu. Fenomena ini, menurutnya, juga difasilitasi oleh teknologi digital.



































