jpnn.com, JAKARTA - Target ambisius pemerintah untuk mencapai rasio pajak sebesar 12 persen dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 dinilai tidak realistis, jika tidak disertai dengan reformasi administrasi dan perluasan basis pajak yang radikal.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menyoroti target tersebut membutuhkan upaya besar, di tengah kondisi penerimaan pajak yang masih menghadapi tantangan struktural.
Menurut Nur Hidayat, untuk mencapai rasio pajak 12 persen, Indonesia harus mampu menambah penerimaan setara dua persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), atau lebih dari Rp600 triliun, tanpa harus menaikkan tarif pajak yang ada.
Hal tersebut tentunya menuntut perluasan basis pajak yang masif dan drastis agar potensi penerimaan negara dapat dimobilisasi secara optimal.
"Untuk mencapai rasio pajak 12 persen, Indonesia harus menambah penerimaan setara dua persen PDB (lebih dari Rp600 triliun) tanpa menaikkan tarif pajak. Artinya, basis pajak harus diperluas secara drastis," kata Nur Hidayat, dikutip Sabtu (18/10).
Namun, tantangan terbesar terletak pada struktur ketenagakerjaan Indonesia, di mana lebih dari separuh angkatan kerja masih berada di sektor informal yang kontribusi pajaknya cenderung minim.
Nur Hidayat menekankan pemerintah harus fokus pada formalisasi ekonomi, yang dapat diwujudkan melalui digitalisasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta pemberian insentif bagi usaha kecil agar mau masuk ke sistem formal.
Selain itu, harmonisasi antara kebijakan pajak pusat dan daerah juga menjadi kunci untuk memastikan kepatuhan yang lebih baik di tingkat regional.