jpnn.com, JAKARTA - Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Susilaningtias menilai revisi Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban (RUU PSDK) sangat mendesak untuk dibahas.
Hal ini terkait makin meningkatnya kompleksitas kasus yang membutuhkan perlindungan dan bantuan bagi saksi maupun korban.
Pasalnya, kerangka hukum yang ada saat ini tidak lagi memadai untuk menjawab kebutuhan lapangan, mulai dari keterbatasan kewenangan hingga prosedur administrasi yang menghambat perlindungan darurat.
Anggota LPSK Susilaningtias menegaskan hal itu saat berbicara dalam sebuah Forum Legislasi bertajuk “Upaya Konkret DPR RI Memaksimalkan Perlindungan bagi Saksi dan Korban Lewat RUU PSDK” di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025),
Pembicara lain dalam diskusi ini adalah Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Sugiat Santoso dan Anggota Badan Legislasi DPR Ahmad Irawan.
Susilaningtias menjelaskan usia LPSK yang memasuki 18 tahun dan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang akan genap 20 tahun pada 2026 menjadi momentum tepat untuk pembaruan regulasi.
“Dalam praktik, banyak ketentuan yang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan perlindungan modern. Ada kekurangan, ada kelebihan, namun kita perlu menyempurnakan agar layanan kepada publik semakin kuat,” ujarnya.
Susilaningtias menilai sistem perlindungan saksi dan korban di Indonesia lebih maju dibanding banyak negara Asia Tenggara, bahkan Asia. Keistimewaan Indonesia, menurutnya, terletak pada integrasi antara perlindungan saksi dan pemberian bantuan korban dalam satu lembaga.




































