jpnn.com, JAKARTA - Draf revisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PHU) yang disepakati untuk dibahas di DPR telah memantik kritik.
Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) mengkritisi rancangan undang-undang (RUU) yang dianggap belum sepenuhnya melindungi jemaah haji itu.
“Dalam RUU ini, posisi jemaah 99 persen tidak sebagai subjek, bahkan dilemahkan,” ujar Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) AMPHURI Ulul Albab dalam diskusi dengan para pemimpin redaksi media massa di Jakarta, baru-baru ini.
Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jawa Timur itu menganggap draf revisi UU PHU tidak melalui kajian akademik. Ulul menyebut banyak hal bertentangan dalam RUU itu.
“RUU-nya tidak memenuhi kaidah legal drafting, bahkan kontradiktif,” tuturnya.
Ulul menjelaskan terdapat tiga isu utama dalam revisi itu. Pertama ialah soal frasa ‘kuota haji khusus paling tinggi 8 persen’ yang ada dalam draf tersebut.
Menurut Ulul, frasa itu berpotensi menjadi pasal karet yang tidak memberikan kepastian. “Frasa “paling tinggi” dalam penetapan kuota haji khusus bersifat elastis, tidak mengikat, dan rawan dimanipulasi,” katanya.
AMPHURI justru mengusulkan frasa itu diganti menjadi ‘sekurang-kurangnya 8 persen’ sehingga penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) memiliki peran lebih besar. Ulul meyakini kualitas layanan haji akan meningkat jika PIHK diberi peran lebih besar.