jatim.jpnn.com, SURABAYA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya menilai langkah kepolisian yang menyita buku untuk menjerat sejumlah orang dalam kasus kerusuhan di Jawa Timur pada 29–30 Agustus 2025, sebagai tindakan yang berpotensi membatasi kebebasan berpikir dan berekspresi.
Koordinator KontraS Surabaya Fatkhul Khoir menyebut penyitaan tersebut tidak hanya mengkriminalisasi wacana kritis, tetapi juga menunjukkan adanya ketakutan negara terhadap anak muda yang gemar membaca serta memiliki pandangan kritis.
“Artinya kalau memang begini kenapa tidak sekalian penulisnya dijadikan tersangka. Kalau buku pemikiran itu di situ dipakai untuk bukti tindak pidana kejahatan. Kenapa penulisnya tidak ditangkap,” kata Fatkhul, Rabu (24/9).
Menurutnya, penggunaan buku sebagai barang bukti justru mengancam ruang kebebasan berekspresi dan mempersempit kesempatan generasi muda untuk mengembangkan literasi.
Dia juga menilai belum ada dasar hukum yang jelas terkait langkah tersebut.
“Kalau saya masih meragukan. Apa kaitannya buku dengan peristiwa, kenapa pada waktu itu polisi menyampaikan buku itu memengaruhi pikiran. Apakah memang dengan kita membaca, terus kemudian pikiran kita menjadi radikal, kan beda. Nah, kalau begitu apa gunanya kampus, yang menggunakan banyak literasi dan memperbanyak,” ucapnya.
Fatkhul menambahkan penyitaan buku tidak hanya terjadi di satu lokasi. Polisi juga mengambil sejumlah buku dari pesantren di Mojokerto dan Jombang. Beberapa santri bahkan ditangkap dan dikaitkan dengan peristiwa di Kediri.
“Ini bukan sekadar soal penegakan hukum, tetapi bagaimana negara memandang literasi. Kalau buku diperlakukan sebagai ancaman maka yang dibunuh bukan hanya demokrasi, melainkan juga masa depan generasi yang kritis,” pungkasnya. (mcr23/jpnn)