jpnn.com - Budayawan Mohammad Sobary menilai keberadaan industri kretek sebagai komoditas strategis nasional sedang menghadapi tekanan yang berat.
Ironisnya, tekanan ini justru dilakukan oleh kalangan bangsa sendiri.
Menurut Sobary, kedaulatan petani tembakau dan cengkeh dihancurkan secara sistematis melalui intervensi legislasi. Konspirasi global dan intervensi asing semakin kuat menggerogoti kedaulatan bangsa.
"Pemerintah ditekan untuk mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang merupakan representasi kekuatan global yang merongrong kedaulatan bangsa. Kekuatan global itu diwakili FCTC sebagai bentuk kolonialisme dengan jubah baru," tegas Sobary.
Menurut Sobary, aksesi FCTC ini memiliki dampak penghancuran terhadap industri kretek nasional, karena di dalam 38 butir Pasal di dalamnya bertujuan untuk melarang penyebaran produk hasil tembakau.
"Sikap pemerintah untuk tidak meratifikasi FCTC sudah tepat, itu semata demi menjaga kedaulatan nasional," kata doktor Ilmu Kesejahteraan Sosial UI itu.
Dikatakan Sobary, saat ini industri kretek nasional menghadapi berbagai tantangan besar, terdapat 500 peraturan –baik fiskal dan non fiskal—yang dibebankan pada industri kretek.
Padatnya aturan tersebut berekses negatif di lapangan karena aturan tidak incorporated, lebih banyak mengadopsi kepentingan pesaing bisnis global yang masuk melalui FCTC-WHO.
"Salah satu dampak signifikan akibat padatnya peraturan adalah kinerja penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) tidak mencapai target. Tahun 2024 mencapai Rp 216,9 triliun atau 94,1% dari target Rp. 230,4 triliun. Produksi rokok legal juga terus mengalami penurunan," ungkap Sobary.
Sobary menegaskan, bahwa Indonesia memiliki alasan-alasan kuat untuk tidak meratifikasi FCTC. Pertama, Indonesia memiliki kepentingan yang besar terhadap komoditas tembakau dan produk hasil tembakau. Negara sangat bergantung pada komoditas ini sebagai pendapatan negara.