jpnn.com - Tanggal 18 Agustus diperingati sebagai Hari Konstitusi, sebuah momentum untuk merefleksikan sejauh mana konstitusi kita, UUD 1945, masih berfungsi sebagai alat untuk mewujudkan cita-cita bangsa.
Setelah 27 tahun reformasi konstitusi yang melahirkan pembatasan kekuasaan, pemilu yang lebih demokratis, dan lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi, kita dihadapkan pada pertanyaan krusial: Apakah konstitusi kita telah kehilangan relevansinya di tengah dinamika politik modern?
Berdasarkan pemikiran Carl Schmitt, konstitusi bukan sekadar dokumen hukum, tetapi sebuah "keputusan politik fundamental" (die politische grundentscheidung) yang mendefinisikan identitas dan tatanan suatu bangsa.
Konstitusi adalah wujud dari kehendak rakyat yang berdaulat, yang menentukan siapa yang berhak memerintah dan bagaimana kekuasaan itu dijalankan.
Bagi Schmitt, konstitusi modern harus mampu menjawab 2 (dua) pertanyaan mendasar: siapa yang berhak berdaulat dan bagaimana kekuasaan itu dikendalikan.
Konstitusi yang Hidup, Bukan Sekadar Pasal
Konstitusi bukanlah kitab suci yang tak boleh disentuh, tetapi juga bukan alat kekuasaan yang bisa diubah seenaknya. Ia adalah kontrak sosial antara negara dan rakyat. Konstitusi hidup ketika ia berpihak pada rakyat, dan mati ketika ia hanya jadi formalitas.
Schmitt berpendapat bahwa konstitusi hidup ketika ia mampu menjembatani perbedaan-perbedaan politik dan menjaga kesatuan politik (politische einheit) bangsa. Konstitusi mati ketika ia hanya menjadi alat untuk menegasikan lawan politik dan mengabaikan kepentingan rakyat.