jpnn.com - Penetapan gradasi pendidik di lembaga pendidikan, mulai dari jenjang dasar hingga menengah, sering kali diperlakukan sebagai murni persoalan administratif, sebuah kewajiban birokratis untuk menaati regulasi kepegawaian.
Gradasi, sebagai sistem pengakuan dan penghargaan yang berjenjang, idealnya berfungsi sebagai lokomotif pendorong profesionalisme guru dan instrumen vital dalam memetakan kompetensi inti.
Namun, dalam implementasinya, upaya merancang sistem gradasi yang adil, objektif, dan efektif kerap terbentur pada realitas lapangan yang jauh lebih kompleks dan berlapis.
Kerumitan ini perlu diurai tuntas agar gradasi tidak sekadar menjadi formalitas kenaikan pangkat, melainkan motor penggerak mutu pendidikan seutuhnya.
Kerumitan fundamental yang pertama adalah mengatasi paradoks pengukuran kompetensi.
Bagaimana sebuah sistem dapat secara jujur dan objektif mengukur kualitas mengajar seorang guru, yang berdasarkan sifat dasarnya, sangat individual, kontekstual, dan sarat dengan dimensi emosional serta pedagogis?
Pengajaran efektif melibatkan interaksi dinamis yang kompleks antara penguasaan materi, kemampuan adaptif terhadap gaya belajar siswa serta kepiawaian menciptakan iklim kelembagaan yang mendukung.
Kualitas sejati seorang pendidik tidak mudah direduksi menjadi angka-angka sederhana.





































