jpnn.com - Dekolonisasi historiografi Simalungun menjadi langkah kritis untuk memulihkan kedaulatan epistemik masyarakat adat yang telah dirusak oleh narasi kolonial selama berabad-abad.
Dalam pandangan penulis ada 3 (tiga) strategi utama dalam proses dekolonisasi, yakni pembacaan kritis terhadap arsip kolonial, repatriasi naskah-naskah kuno seperti Pustaha Simalungun (1387) dan Adat Parpitu (1425) serta pendidikan berbasis adat yang menghidupkan kembali bahasa, aksara, dan tradisi lisan Simalungun.
Dengan berpijak pada sumber primer seperti Turiturian ni Raja Raya (1480), laporan arkeologi Universitas Indonesia (2021), dan protokol Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) oleh LIPI (2022), penulis merekonstruksi bagaimana masyarakat Simalungun, yang dipimpin oleh warisan Tuan Rondahaim Saragih, melawan distorsi kolonial dan membangun narasi sejarah yang autentik.
Pendekatan ini mengadopsi prinsip dekolonisasi epistemik yang di advokasi oleh Walter Mignolo (2011) dan Linda Tuhiwai Smith (1999), yang menekankan pentingnya mengembalikan suara pribumi ke dalam wacana sejarah.
Kutipan asli dari sumber-sumber ini, dengan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia untuk teks berbahasa asing, menegaskan bahwa dekolonisasi historiografi Simalungun bukan hanya koreksi narasi, tetapi juga revitalisasi identitas budaya dan kedaulatan pengetahuan Simalungun.
Pembacaan Kritis terhadap Arsip Kolonial
Arsip kolonial, seperti Mailrapport (1860–1933) dan laporan Rheinische Missionsgesellschaft (RMG), telah membentuk narasi yang merendahkan Simalungun sebagai masyarakat “primitif” dan “pemberontak.”