jateng.jpnn.com, SEMARANG - Usianya kini sudah 95 tahun, rambut memutih, langkahnya pelan. Namun, memori Kapten (Purn) Sanjoto masih setajam saat dia muda. Di balik tubuh renta itu tersimpan kisah panjang.
Dia pernah menjadi bagian dari operasi militer memburu Dipa Nusantara (DN) Aidit, tokoh besar Partai Komunis Indonesia (PKI) pada peristiwa G30S/PKI (Gerakan 30 Septmeber) 1965.
“G30S itu dalangnya PKI. Begitu meletus siang, sorenya itu pusat membeli instruksi,” kenang Sanjoto saat ditemui JPNN.com di kediamannya, Selasa (30/9).
Saat itu, dia masih berpangkat letnan di Corp Polisi Militer (CPM). Sanjoto mendapat perintah rahasia, yakni mencari rumah yang digunakan Aidit sebagai tempat singgah di Semarang. “Usahakan ditangkap hidup-hidup,” begitu instruksi yang masih dia ingat.
Bersama pasukan, Sanjoto menyisir kawasan Peterongan. Seorang perwira Kodim Semarang lalu menuntunnya ke sebuah rumah di Jalan Blimbing Raya. Sayang, dia terlambat. DN Aidit sudah meninggalkan lokasi sekitar dua jam sebelumnya, sementara warga yang mengepung rumah membakar papan nama PKI dan merobek bendera palu arit.
Meski gagal mencegat di Semarang, Sanjoto berhasil menemukan petunjuk arah pelarian ke selatan. Informasi itulah yang akhirnya menghubungkan operasi hingga akhirnya Aidit ditangkap di Solo pada 22 November 1965.
Empat tahun kemudian, Sanjoto mendapat hadiah dari atasannya, yakni rumah di Jalan Blimbing Raya Nomor 34. Dulunya, rumah itu menjadi markas PKI. Sejak 1970, dia resmi menempatinya setelah diperbaiki dengan bantuan Pemprov Jateng. Sekarang, rumah itu juga difungsikan sebagai markas Ranting 4 Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Semarang.
“Rumah ini bukan sekadar tempat tinggal, tetapi bagian dari perjalanan hidup saya,” ujarnya.