jateng.jpnn.com, SEMARANG - Putusan Pengadilan Negeri (PN) Semarang terhadap tiga terdakwa kasus pemerasan dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) dinilai terlalu ringan.
Eks Kaprodi PPDS Anestesi Undip Taufik Eko Nugroho divonis dua tahun penjara. Sementara dua terdakwa lain, Sri Maryani dan Zara Yupita Azra, hanya dijatuhi hukuman sembilan bulan penjara. Vonis ini lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa.
Kuasa hukum keluarga almarhumah dr. Risma Aulia, Yulisman Alim, tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Dia menyebut vonis ringan tersebut berpotensi tidak memberi efek jera.
“Kalau hanya begini, bagaimana bisa menjadi pembelajaran untuk memperbaiki sistem? Hukuman minimal yang layak mestinya lima tahun,” tegas Yulisman usai sidang, Rabu (1/10).
Pihak keluarga, lanjutnya, masih akan menimbang langkah hukum selanjutnya. “Kami hormati keputusan hakim, tetapi kami belum puas. Kami akan koordinasi dengan keluarga dan penasihat hukum,” katanya.
Sementara itu, kuasa hukum para terdakwa Khairul Anwar menegaskan perkara pemerasan tersebut tidak berkaitan dengan kematian dr. Risma.
“Vonis hakim juga tidak menyinggung soal perundungan. Kasus ini murni soal pemerasan, yang terjadi tahun 2022 dan merupakan sistem lama, bukan tindakan pribadi,” ujar Khairul.
Kasus PPDS Anestesi Undip mencuat setelah meninggalnya dr. Risma Aulia, yang membuka tabir dugaan perundungan dan praktik pemerasan di lingkungan pendidikan kedokteran. Kementerian Kesehatan bahkan sempat menghentikan sementara praktik PPDS Anestesi di RSUP Dr. Kariadi, Semarang. (jpnn)