jateng.jpnn.com, SEMARANG - Di antara deru kendaraan yang kian cepat dan aspal yang makin lebar, dua lapak kambing masih berdiri di Jalan Tentara Pelajar, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Sebuah peninggalan hidup dari masa lalu yang nyaris habis dikenang. Dahulu, kawasan ini dikenal sebagai Pasar Kambing, pusat niaga yang tak hanya memutar roda ekonomi rakyat, tetapi juga menyimpan sejarah panjang generasi penjual yang hidup dari urusan hewan kurban, akikah hingga hajatan rakyat kecil.
Kini, hanya dua pedagang tersisa. Mereka bertahan di sisa-sisa median jalan yang dulunya lapang, selarang menyempit dan berbahaya. Di pertigaan Tanah Putih, Candisari, monumen kambing berdiri sunyi, melambangkan titik penghabisan dari kejayaan yang telah lewat dan tak tahu akan kapan kembali.
“Saya buka lapak cuma sepuluh hari menjelang Iduladha. Habis itu ya sudah, selesai. Sekarang kambing yang laku baru 40 ekor, tinggal sedikit ini,” ujar Gafar Ismail (55), seorang penjual kambing yang telah menjaga lapaknya sejak muda, meneruskan warisan keluarga dari zaman sang kakek.
Wajah lelaki yang akrab disapa Gopang itu tampak tenang, tetapi sorot matanya seperti menyimpan lelah yang lama. Dulu, sekali musim kurban datang, bisa menjual hingga lebih dari 60 kambing.
Dia lahir pada 1970. Saat itu, sang datuk sudah aktif berjualan kambing. Terakhir pada masa kejayaan, pada awal 2000-an, jalan ini penuh oleh lapak-lapak, kanan-kiri dari pertigaan sampai ke ujung.
“Saya generasi ketiga, dari datuk, orang tua. Kalau ramai-ramainya dulu, bisa ratusan ekor. Sekarang sudah hancur, tidak ada lahan,” ujarnya.
Bukan hanya soal ruang. Menurutnya, ekonomi juga ambil andil besar dalam penurunan penjualannya tahun ini. Denyut ekonomi Pasar Kambing mulai reda 20 tahun terakhir.