jpnn.com - Pemerintah melalui PT PLN (Persero) telah meluncurkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, yang merinci rencana penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 69,5 GW dalam satu dekade ke depan. Dari jumlah tersebut, 10,3 GW dialokasikan untuk pembangkit berbahan bakar gas bumi, menjadikannya komponen penting dalam strategi transisi energi nasional.
Gas Bumi: Jembatan Menuju Energi Bersih
Gas bumi sering disebut sebagai “bridging fuel” karena emisinya yang lebih rendah dibanding batu bara dan kemampuannya menyediakan energi secara stabil.
Dalam konteks Indonesia, gas bumi diharapkan dapat mengisi peran penting dalam memenuhi kebutuhan energi sambil mendukung integrasi energi terbarukan yang bersifat intermiten.
Namun, rencana penambahan 10,3 GW pembangkit gas ini menimbulkan pertanyaan mengenai kesiapan infrastruktur dan kepastian pasokan gas domestik.
Tantangan Pasokan Gas dan Infrastruktur
Untuk mendukung tambahan kapasitas pembangkit gas sebesar 10,3 GW, PLN diperkirakan membutuhkan antara 180 hingga 240 kargo LNG per tahun, dengan asumsi setiap 1 GW pembangkit gas memerlukan 18–24 kargo LNG.
Namun, tantangan muncul karena sebagian besar infrastruktur gas, seperti jaringan pipa dan terminal LNG, masih terkonsentrasi di wilayah tertentu, sementara kebutuhan pembangkit tersebar di berbagai daerah. Hal ini menimbulkan risiko ketergantungan pada impor LNG dan fluktuasi harga pasar global.