jpnn.com, JAKARTA - Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Dr. Syahganda Nainggolan meminta pemerintah untuk menghitung kembali berbagai kebijakan politik luar negeri Indonesia di tengah gejolak politik global. Mulai dari perang Rusia-Ukraina sampai perang Iran-Israel, dan tentu saja persaingan AS dan BRICS.
"Pak Prabowo Subianto jangan menjadi presiden elitis yang tidak terkoneksi dengan akar rumput karena lebih sering dikelilingi menteri-menteri eks pemerintahan Joko Widodo yang sekadar ingin mempertahankan posisi di lingkaran kekuasaan," terang Syahganda Nainggolan dalam pernyataannya pada forum diskusi terbatas bertema “Dampak Konflik Israel-Iran terhadap Indonesia: Tantangan, Peluang, dan Strategi dalam Menghadapi Dinamika Global” di Jakarta dikutip Jumat (11/7).
Syahganda memaparkan konsekuensi dari pilihan Indonesia bergabung dengan poros Brazil, Russia, India, China, dan South Africa (BRICS).
Dia khawatir pilihan politik ini dipengaruhi oleh kelompok menteri yang ingin mempertahankan kekuasaannya sejak era pemerintahan lalu.
“Itu kan orang-orang yang selama ini menikmati kekuasaan sebagai ABS, asal Bapak senang. Mereka mungkin aja tipu-tipu Prabowo,” ujar Syahganda.
Kalau mau serius, lanjutnya, dihitung. Amerika itu meng-implan kekuatan intelijen dan militer di Indonesia sudah 30 tahun lebih. Indonesia berani tidak melawan itu.
"Orang-orang itu (eks menteri Jokowi) bicara gampang-gampang. Amerika itu anggaran militernya 963 miliar dolar AS. Belum lagi anggaran militer NATO sebesar 1,5 triliun dolar AS. Kekuatan kita apa?” urai Syahganda.
Dia mencontohkan salah satu pembicaraannya dengan perwira tinggi TNI yang aktif di dunia intelijen mengenai konsekuensi dari kemarahan Amerika Serikat atas keputusan politik luar negeri Indonesia.