jpnn.com - “Mereset Penyelenggara Pemilu” versus “Reset KPU: Jalan Pintas Menyesatkan.”
Polemik Titi Anggraini dan Dody Wijaya, kolega saya, anggota KPU DKI Jakarta di Harian Kompas relevan bagi dialektika penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Dalam lensa objektivisme dan semangat republikanisme, polemik ini bukanlah sekadar drama personal, melainkan sebagai manifestasi dari mekanisme check and balance.
Hal ini adalah panggilan untuk kembali ke altar deliberasi, demi mencari kemaslahatan bersama (res publica).
Penyelenggara pemilu yang kuat tidak cukup dipimpin oleh sekelompok pemimpin dengan bakat mediocre dan tidak memanfaatkan kekuatan kritisisme publik.
Penyelenggara pemilu yang kuat membutuhkan kritikus tangguh untuk menyempurnakan tata kelola pemilu dan keadilan pemilu, karena tujuan akhir dari perjuangan sang penyelenggara pemilu adalah kemuliaan penyelenggaraan pemilu yang luber dan jurdil sehingga hasil pemilu itu merefleksikan nilai luhur kedaulatan rakyat.
Titi, melalui perannya sebagai akademikus dan aktivis demokrasi memegang posisi kunci, yakni sebagai penjaga nurani publik dan akal sehat republik.
Kritik utama Titi bertolak pada tesis dominasi, baik dominasi prosedural-birokrasi maupun dominasi kepentingan politik yang dapat merusak meritokrasi dan transparansi.