jpnn.com, SURABAYA - Anggota DPR RI Fraksi PDIP Bonnie Triyana menilai pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto tidak bisa dipandang sekadar sebagai penghargaan atas jasa seorang tokoh. Dalam Seminar Hari Pahlawan bertajuk Menafsir Ulang Kepahlawanan di Zaman yang Berubah yang digelar Lab45 di Universitas Airlangga, Surabaya, Kamis (20/11), ia menegaskan bahwa isu ini merupakan bagian dari perebutan memori publik.
“Saya melihat ini bukan sekadar pemberian gelar pahlawan. Ini kontestasi politik memori yang ujungnya bisa mendelegitimasi atau melegitimasi peran bahkan kekuasaan kelompok tertentu,” ujar Bonnie.
Menurutnya, perdebatan selalu terbelah antara mereka yang menilai Soeharto berjasa dan mereka yang menyoroti catatan pelanggaran HAM serta korupsi di masa Orde Baru.
Ia menekankan bahwa peran presiden harus dilihat sebagai institusi, bukan sekadar pribadi.
“Presiden itu bukan soal pribadi. Ini institusi yang kalau batuk saja bisa bikin harga saham jatuh,” katanya.
Karena itu, penilaian terhadap figur pemimpin tidak boleh dilepaskan dari dampak institusional dan kebijakan negara yang menyertainya.
Bonnie juga mengingatkan pentingnya memahami sejarah Hari Pahlawan dan bagaimana negara membentuk politik ingatan. Ia menjelaskan bahwa Hari Pahlawan baru diperingati secara nasional pada 1959 melalui Keputusan Presiden Nomor 316.
“Bayangkan dari 1945 ke 1959 itu berapa tahun. Bung Karno menetapkan Hari Pahlawan sebagai bagian dari konsepsi front nasional,” ujarnya.






































