jpnn.com - BEBERAPA waktu lalu penulis menghadiri diskusi kelompok terfokus (FGD) yang digelar oleh Kementerian Luar Negeri (Kemlu) untuk membahas soal aliansi BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa) dan oportunitasnya bagi Indonesia. Pada forum itu, penulis sebagai salah satu speaker menekankan bahwa pakta multilateral alternatif (non-Barat) tersebut menarik untuk dikaji.
Namun, pada saat yang sama, kita juga harus mewaspadai berbagai konsekuensi yang akan muncul, termasuk reaksi dari negara-negara Barat. Sebagai negara besar di ASEAN sekaligus anggota G20, Indonesia tentu sangat “seksi” di mata aliansi atau blok mana pun.
Di sinilah politik luar negeri kita yang bebas aktif sebagaimana amanat konstitusi harus senantiasa menjadi pegangan —meminjam istilah Bung Hatta— mengarungi lautan dan mendayung di antara dua karang. Tentu saja ada perbedaan konteks dunia hari ini dan di masa lalu.
Meski demikian, substansinya tetap sama, yakni kita harus memainkan bandul diplomasi diantara dua, tiga, atau banyak pihak yang berkepentingan.
Delegasi Indonesia akan berjuang di BRICS Summit pada Juli mendatang di Brazil. Setelah Indonesia mendapat status full member pada Januari lalu, banyak pekerjaan rumah yang harus kita lakukan agar keberadaan Merah Putih di BRICS membawa dampak nyata bagi kesejahteraan rakyat, sebagaimana target Presiden Prabowo Subianto untuk merealisasikan target economic growth 8 persen pada 2029.
Oleh karena itu, cara pandang kita terhadap berbagai tools diplomasi harus diarahkan ke tujuan yang sama. Sebelum membahas lebih jauh KTT Brazil, perlu kiranya kita me-recall memori tentang aliansi ini.
BRICS didirikan pada 2009 oleh lima negara non-G7, yaitu Brazil, Rusia, India, Tiongkok dan Afrika Selatan. Kelimanya merupakan negara besar -di luar Western Countries- yang memiliki potensi untuk menjadi balancing di masa depan.
Lebih jauh, setidaknya terdapat lima faktor pembentukan BRICS. Pertama, untuk meningkatkan kerja sama ekonomi antar negara-negara non-Barat.