jpnn.com, JAKARTA - Perkembangan teknologi digital dan perubahan gaya hidup modern membawa tantangan baru bagi kesehatan mata anak dan remaja di Indonesia.
Miopia atau rabun jauh kini menjadi masalah kesehatan mata yang terus meningkat di seluruh dunia. Menurut data
daru International Myopia Institute (IMI) Facts and Findings 2023, pada tahun 2020, sekitar 30 persen penduduk dunia mengalaminya, dan angka ini diperkirakan melonjak menjadi 50 persen pada 2050.
Bahkan, 1 dari 10 orang diprediksi akan mengalami miopia tinggi, yaitu kondisi rabun jauh yang lebih berat.
Miopia bukan hanya soal penglihatan kabur. Pada anak- anak, gangguan penglihatan bisa memengaruhi prestasi belajar dan kesehatan mental.
Secara umum, miopia juga bisa menurunkan kualitas hidup dan menimbulkan beban ekonomi karena biaya pemeriksaan, pengobatan, serta hilangnya produktivitas.
Faktor risiko utama miopia adalah terlalu banyak aktivitas jarak dekat seperti membaca atau bermain gawai, kurangnya waktu di luar ruangan, serta riwayat keluarga.
Anak-anak dari Asia Timur dan perempuan juga dilaporkan lebih rentan menurut beberapa penelitian.
Data dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 juga menunjukkan bahwa prevalensi disabilitas penglihatan pada penduduk Indonesia berusia di atas 1 tahun mencapai 0,4 persen, sementara proporsi penggunaan alat bantu lihat seperti kacamata masih tergolong rendah, yakni hanya 11,9 pesen.