jogja.jpnn.com, YOGYAKARTA - Di tengah tantangan krisis iklim dan kerusakan lingkungan akibat model pembangunan eksploitatif, konsep blue food atau pangan berbasis perairan lokal muncul sebagai solusi alternatif yang menjanjikan untuk membangun sistem pangan yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Blue food mencakup pangan dari hewan, tumbuhan, dan alga air yang berasal dari perairan laut maupun tawar, yang memiliki potensi besar dalam memperkuat ketahanan pangan sekaligus menjaga ekosistem dan komunitas pesisir.
Hal ini mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Blue Food as Climate Solution” yang diselenggarakan oleh Departemen Sosiologi UGM bersama berbagai organisasi seperti Climate Reality Indonesia dan Climateworks Centre.
Para pembicara, termasuk Kaprodi Sosiologi UGM Hakimul Ikhwan dan Manager The Climate Reality Indonesia Amanda Katili Niode, menegaskan bahwa blue food memiliki peran strategis dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berkeadilan dan ramah lingkungan.
Hakimul Ikhwan menekankan pentingnya menggerakkan makanan dari sumber laut sebagai sumber daya nasional yang kaya keragaman hayati dan sangat terkait dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Sedangkan Amanda Katili Niode menyoroti bahwa pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan tidak hanya penting secara global, tetapi juga krusial bagi identitas budaya dan kesejahteraan masyarakat pesisir di tingkat lokal.
Ia menegaskan bahwa blue food memiliki jejak karbon rendah, nilai gizi tinggi, dan potensi sebagai solusi masalah stunting, asalkan ekosistem perairan dijaga dan komunitas lokal dilibatkan aktif.
Guru Besar IPB, Prof Luky Adrianto menambahkan bahwa keberlanjutan pangan biru tidak bisa dilepaskan dari kelestarian ekosistem laut dan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat pesisir.
