jpnn.com, JAKARTA - Reformasi Polri dinilai memerlukan perubahan mendasar dalam struktur kelembagaan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Peneliti Prolog Initiatives, Rahman Azhar, menyatakan Polri saat ini berada di titik krusial dalam sejarah reformasinya.
"Masalahnya bukan sekadar perilaku oknum, tetapi lebih pada desain kelembagaan yang cacat secara prinsip tata kelola demokratis," ujar Rahman di Jakarta, Jumat (30/5).
Rahman menilai beberapa kasus seperti pembunuhan Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo, keterlibatan Irjen Teddy Minahasa dalam sindikat narkoba, dan intimidasi terhadap jaksa dalam kasus timah senilai Rp 271 triliun menunjukkan kegagalan sistemik.
Salah satu masalah utama, menurut Rahman, adalah posisi Polri yang langsung di bawah presiden.
"Ketika sebuah institusi yang memiliki senjata, kewenangan penindakan hukum, dan kekuasaan koersif tidak dikontrol oleh institusi sipil, hasilnya adalah lembaga dengan potensi hegemoni kekuasaan," jelasnya.
Rahman juga menyoroti perluasan kewenangan Polri dalam RUU Polri yang sedang dibahas DPR.
"Jika tidak dikontrol, Polri akan bertransformasi menjadi entitas superbody yang menyatukan kekuasaan intelijen, penegakan hukum, keamanan nasional, dan otoritas politik," tegasnya.
Menurut Rahman, sekitar 488 perwira aktif Polri yang menjabat di kementerian dan lembaga negara lain menunjukkan ekspansi politik Polri. "Pembagian wewenang penegakan hukum ini penting agar tidak ada lembaga tunggal yang memiliki kekuasaan absolut," tambahnya.