jatim.jpnn.com, SIDOARJO - 19 tahun sudah tragedi semburan lumpur Lapindo tak kunjung menemui titik akhir, Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL) menggelar kenduren sebagai bentuk refleksi dan pernyataan sikap.
Di balik doa dan harapan, suara kekecewaan terhadap peran negara kembali mengemuka, terutama soal belum tuntasnya pembayaran ganti rugi bagi para pelaku usaha terdampak.
Kuasa hukum GPKLL Mursyid Mudiantoro menyebutkan acara kenduren ini mencerminkan kesedihan mendalam atas ketidakhadiran negara dalam menuntaskan persoalan hukum dan keadilan atas hak para pengusaha korban lumpur.
"Sudah hampir dua dekade berlalu, tetapi persoalan utama, yakni pembayaran ganti rugi atas lahan milik para pelaku usaha, belum juga mendapat penyelesaian yang jelas," ujar Mursyid dalam keterangan tertulis, Sabtu (31/5).
Dia menjelaskan korban lumpur Lapindo diklasifikasikan menjadi dua, yakni yang berada di dalam Peta Area Terdampak (PAT) dan yang di luar PAT, yang kemudian dikelompokkan lagi menjadi rumah tangga dan pelaku usaha.
Menurutnya, meski ganti rugi bagi korban luar PAT dari kedua kelompok sudah ditanggung oleh APBN, korban di dalam PAT, khususnya dari kalangan pelaku usaha, masih belum memperoleh haknya.
"Sebanyak 31 entitas usaha, baik PT maupun CV, dengan total lahan sekitar 85 hektare belum mendapat kompensasi, bahkan sebagian tanggul yang berdiri sekarang berada di atas tanah mereka," ungkap Mursyid.
Dia menyoroti amar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 83/PUU-XI/2013 yang secara tegas meminta negara menjamin keadilan bagi seluruh korban, termasuk para pengusaha. Sayangnya, pelaksanaan putusan itu dinilai belum merata.