jpnn.com - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 12/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah patut diapresiasi sebagai bentuk koreksi terhadap desain pemilu serentak yang terbukti menyimpan banyak persoalan teknis dan substansial.
Namun, di balik argumen efisiensi demokrasi dan perlindungan hak konstitusional warga negara, keputusan ini memunculkan konsekuensi besar: lonjakan beban anggaran negara dan daerah serta meningkatnya kompleksitas birokrasi elektoral yang bisa menggerus efektivitas belanja publik.
Koreksi Atas ‘Pemilu Serentak Akrobatik’
Putusan ini berangkat dari evaluasi Pemilu 2019 dan 2024 yang menyatukan pemilihan presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi dan kabupaten/kota ke dalam satu hari pencoblosan.
Model ini secara administratif terbukti membebani penyelenggara pemilu secara ekstrem, menyebabkan kelelahan, jatuhnya korban jiwa, dan menciptakan pemilu yang terlalu rumit untuk dicerna masyarakat.
MK mengambil sikap tegas: demokrasi tidak boleh dikorbankan demi efisiensi prosedural.
Maka, pemilu nasional (Presiden, DPR RI, DPD RI) harus dipisahkan dari pemilu daerah (Pilkada dan DPRD) dengan jarak maksimal 2 tahun 6 bulan.
Namun, koreksi demokrasi ini membawa persoalan baru: efisiensi fiskal terancam dikorbankan.