jpnn.com, JAKARTA - Presiden Amerika Serikat Donald Trump awalnya mengenakan tarif setinggi 32 persen atas ekspor Indonesia yang diumumkan pada April 2025 sebagai bagian dari "Liberation Day Tariffs" yang menargetkan lebih dari 20 negara.
Dalam daftar tersebut, Indonesia disebut akan terkena tarif 32 persen, mulai berlaku 1 Agustus 2025.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengungkapkan tentu saja angka ini mengagetkan. Dalam sejarah hubungan dagang Indonesia-AS, belum pernah ada tarif setinggi ini dikenakan secara menyeluruh pada komoditas Indonesia.
"Seperti seorang pedagang pasar yang tiba-tiba menaikkan harga tiga kali lipat, kebijakan ini seolah menutup pintu ekspor Indonesia ke AS," ungkap Nur Hidayat dikonfirmasi JPNN, Rabu (16/7).
Namun, yang terjadi kemudian lebih mengejutkan. Setelah surat ancaman tarif diterima, pemerintah Indonesia bernegosiasi dengan AS.
Dalam waktu kurang dari tiga minggu, muncul kesepakatan baru: tarif diturunkan menjadi 19 persen, asalkan Indonesia membeli produk-produk AS dalam jumlah sangat besar, yaitu USD 15 miliar energi, USD 4,5 miliar produk pertanian, dan 50 pesawat Boeing seri 777.
"Seperti cerita rakyat tentang raja yang meminta upeti emas dan berlian sebelum memberi izin dagang, inilah bentuk modern dari pemerasan," ungkap Nur Hidayat.
Dia melanjutkan ancaman 32 persen menjadi alat tekanan, dan penurunan ke 19 persen dijual dengan harga yang jauh lebih mahal.