jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan menempatkan TNI pada kantor Kejaksaan dinilai bukan hanya soal keamanan semata. Penempatan Militer Indonesia di kantor-kantor Kejaksaan bahkan disebut sebagai alarm keras bahwa negara sedang darurat korupsi.
Demikian disampaikan Pengamat hukum dan politik Dr Pieter Zulkifli, SH., MH, merespons munculnya kebijakan menempatkan TNI di Kantor Kejaksaan.
"Dan di tengah darurat ini, rakyat menanti: apakah pemimpin barunya akan membela hukum, atau membungkamnya?" kata Pieter Zulkifli dalam keterangannya, Jakarta, Sabtu, 17 Mei 2025.
Pieter Zulkifli bahkan sepakat dengan pernyataan mantan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyebut situasi itu sebagai tidak normal. Mahfud MD mengungkap bahwa ketegangan antara Kejaksaan dan Polri bukan hal baru, bahkan sudah terasa sejak masa pemerintahannya.
Mahfud menyuarakan kekhawatiran mendalam di mana penegak hukum saling tidak percaya, perkara besar macet di kepolisian, kejaksaan terkesan bekerja sendiri. Di tengah itu, masuklah TNI sebagai pelindung.
"Apakah ini bentuk sinyal bahwa pemberantasan korupsi di masa depan akan semakin keras dan frontal? Bisa jadi. Namun risiko terbesarnya adalah pelibatan militer dalam fungsi-fungsi sipil yang semakin membesar dan melampaui batas," kata dia.
"Apa pun alasannya, pengerahan TNI ke kantor-kantor Kejaksaan sejatinya adalah refleksi dari lemahnya sistem penegakan hukum, bukan kekuatannya," timpalnya.
Pieter Zulkifli mengingatkan jika Presiden Prabowo Subianto memang merestui langkah tersebut, maka sudah seharusnya berbicara ke publik. Prabowo harus menjelaskan bahwa keputusan itu adalah langkah transisi menuju Indonesia yang lebih bersih.